“Aku ingin kembali, menghidupkan diriku yang telah mati. Aku ingin sel darah merah mengalir dalam tubuhku menjadi suci untuk selamanya” (Aku Tak Ingin Lagi –Sese Lawing)
Hampir 60 juta orang terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan 25 juta orang tewas akibat virus HIV. Fakta tersebut berdasarkan laporan terbaru dari Badan Kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Health Organization (WHO) dan komisi gabungan PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS) yang diumumkan di Jenewa, Swiss, Selasa, 24 November 2009.
Masih di dalam laporan yang sama, meski program pencegahan berhasil mengurangi tingkat rata-rata infeksi sebesar 17 persen dalam kurun delapan tahun terakhir, jumlah total orang dengan HIV terus meningkat pada 2008. Pada akhir 2008, total 33,4 juta orang, yang menunjukkan kenaikan 20 persen dibanding tahun 2000, hidup dengan HIV.
Bagaimana dengan Indonesia? Contoh kecil di ibukota Jakarta, hasil pemetaan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Daerah Khusus Ibukota Jakarta menyebutkan tidak ada kecamatan dan kelurahan yang terbebas dari HIV/AIDS. Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia telah lama berlangsung dan diduga masih akan berkepanjangan. Karena berbagai upaya pengendalian resiko penularan penyakit ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Jumlah kasus baru AIDS pada Triwulan II 2011 mencapai 6.087 orang sehingga secara kumulatif sampai dengan bulan Juni 2011 tercatat jumlah kasus AIDS sebanyak 26.483 orang. Estimasi akhir tahun 2009 memperkirakan 188.000 orang terinfeksi HIV, bahkan sebagian telah menunjukkan gejala-gejala AIDS, sungguh kondisi yang, memprihatinkan bagi bangsa kita.
Seperti diketahui bersama, permasalahan HIV dan AIDS bukan saja menjadi masalah nasional akan tetapi sudah menjadi masalah global karena lebih dari 60 juta jiwa manusia di dunia hidup telah terinfeksi HIV. Di Indonesia tidak ada provinsi yang dinyatakan bebas dari HIV dan AIDS. Hal ini terjadi akibat masih kurang seriusnya penanganan masalah khususnya pada program sosialisasi HIV dan AIDS. Sehingga Untuk penanggulangan masalah ini diperlukan sosialisasi untuk pencegahan dan menunjang target pembangunan milenium 2015 (MDG`s).
Kesulitan lainnya adalah paradigma masyarakat di Indonesia yang masih melihat HIV dan AIDS adalah penyakit yang memalukan bahkan kutukan. Pemikiran bahwa ODHA (Orang yang hidup dengan HIV) harus dijauhi dan diasingkan masih sering terdengar di pelosok daerah di Indonesia. Masih sangat miskinnya Pengetahuan masyarakat mengenai hal ini membuat jurang yang semakin lebar. Bagaimana bisa memahami dan berempati bila Pengetahuan mengenai hal ini saja tidak ada. Tapi ada beberapa orang yang memulai hal itu dengan pendekatan penelitian yang mereka buat untuk menjawab isu ini.
Menurut Farid dari PKNM (Persatuan Korban Nafza Makassar) mengatakan penanggulangan HIV dan AIDS seharusnya dimulai dari ODHA yang mendukung ODHA lain. Dengan metodologi dari ODHA untuk ODHA akan memberikan manfaat sangat besar bila sesame ODHA saling mendampingi. Farid Satria adalah seorang penderita ODHA yang membantu ODHA lainnya untuk kembali bangkit dan hidup. Pemaparan Farid disampaikan di Acara “”Hasil Penelitian tentang HIV/AIDS – Berbagi Ilmu Berbagi Manfaat” yang diadakan di BaKTI, tanggal 16 Desember 2011.
Yayasan BaKTI adalah lembaga yang berfungsi sebagai pusat pertukaran pengetahuan dan informasi pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Salah satu tujuan BaKTI yaitu meningkatkan pertukaran pengetahuan dan pengadopsian praktik cerdas. Untuk mencapai tujuan ini, maka BaKTI berperan dalam mendorong dan memfasilitasi proses pertukaran pengetahuan tentang isu-isu pembangunan termasuk HIV-AIDS.
“Kelompok Dukungan Sebaya atau KDS adalah kumpulan orang-orang yang saling men-support dan berbagi,” lanjut Farid. Mulai dari pendekatan persuasif dengan kunjungan orang ODHA ke rumah sakit dan rumahnya agar mereka bisa aktif lagi. Ada juga kelompok belajar (Study Club) berupa pertemuan tertutup yang diadakan untuk berbagi ilmu tentang kesehatan dan lainnya. Hasil program ini adalah banyak orang yang bergabung dalam kelompok ini, bukan hanya ODHA saja bahkan OHIDA (Orang yang hidup dengan ODHA) atau keluarga ODHA yang bahu-membahu bekerja untuk mendekati orang-orang yang rawan terkena HIV dan AIDS khususnya para pengguna narkoba yang sangat rentan dengan virus mematikan ini. Dan banyak yang berhenti dari ketergantungan napza dan role model untuk anggota dan orang lain dengan berbekal Pengetahuan yang baik untuk memberikan informasi yang baik pula untuk orang yang didampingi. Harapan Farid adalah akan banyak orang untuk bergabung dalam Komunitas dan program ini agar bisa mendukung proses advokasi kepedulian masyarakat mengenai isu ini.
Farid dengan advokasinya untuk penderita napza, maka lain halnya dengan Ipul yang mengadakan penelitian tentang waria. Ipul melakukan penelitian tentang waria karena selain mereka Komunitas yang terasing dan eksklusif tetapi jarang diperhatikan. Dalam pelitiannya yang berjudul “Ngutang Kondom: Strategi Waria/PSK dalam Perolehan Kondom dan Pencegahan HIV di Makassar” Ipul membahas tentang Kesadaran akan pentingnya penggunaan kondom sebenarnya cukup tinggi di kalangan waria-PSK.
Namun, salah satu kendala yang signifikan adalah ketersediaan kondom. Berbagai cara untuk memperoleh kondom dilakukan, salah satunya dengan “ngutang kondom,” yakni dengan diberikan kondom terlebih dahulu oleh petugas penjangkau (outreach), kemudian dibayar setelah mendapatkan uang dari “melacur” (ngallang). Sejak tahun 2011, metode “ngutang kondom” ditiadakan untuk mengintensifkan “kemandirian kondom” di kalangan waria-PSK. Oleh karenanya, waria-PSK harus progresif untuk memperoleh kondom, seperti membeli langsung di apotik, melalui preman, atau tukang ojek. Namun, ketika tak memiliki uang, penggunaan kondom terabaikan, kecuali jika tamu bersedia membeli kondom. Dari penelitiannya ini dihasilkan kesimpulan bahwa Waria-PSK tidak menggunakan kondom bukan karena tidak memahami pentingnya penggunaan kondom, tetapi karena ketidaktersediaan kondom, atau malu membeli kondom, tapi pengabaian kondom terjadi ketika waria-PSK tak memiliki uang dan kondom tak bisa diutang. Oleh karenanya, program “kemandirian kondom” harus memperhitungkan ketidakberdayaan ekonomi waria-PSK.
Dari penelitian-penelitian ini diharapkan membuka mata masyarakat untuk melihat secara keseluruhan masalah atau isu HIV dan AIDS. Banyak yang tidak menyadari bahwa kelompok rentan terhadap HIV dan AIDS adalah dua kelompok yang dipaparkan oleh Farid dan Ipul tadi. Kelompok pemakai napza atau waria adalah juga manusia. Mereka juga butuh uluran tangan dan pertolongan. Kalau bukan sesamanya atau masyarakat siapa lagi yang bisa menolong. Butuh pengenalan yaitu berbagi Pengetahuan dan informasi mengenai hal ini, butuh juga pengenalan terhadap kehidupan mereka agar bisa menemukan satu sistem atau program yang tepat untuk membantu mereka dan yang penting juga adalah bagaimana masyarakat mempunyai rasa welas asih dan berempati bagi mereka agar ‘korban’ HIV dan AIDS bisa bangkit dari kubangan. Sudah tentu hal-hal seperti ini akan membantu penanggulangan HIV dan AIDS yang semakin luas.
0 komentar:
Post a Comment